Minggu, 16 November 2014

Pragmatisme sebagai Metode Pembelajaran Peserta Didik


PGSD/III-A/03/089616691064

Pragmatisme sebagai Metode Pembelajaran Peserta Didik

Sejak dahulu hingga dewasa ini, dunia pendidikan selalu membuka diri terhadap kemungkinan diterapkannya suatu format pendidikan yang ideal, untuk menjawab permasalahan global. Banyak teori yang telah diadopsi untuk mencapai tujuan tersebut. Termasuk teori pragmatis yang mencoba mengisi ruang dan waktu, untuk turut mencari solusi terbaik dalam dunia pendidikan dan perkembangan manusia itu sendiri. Sesuai dengan pragmatisme yang dikemukakan oleh Charles Sandre Peirce yaitu bahwa pragmatisme tidak hanya sekadar ilmu yang bersifat teori dan dipelajari hanya untuk berfilsafat serta mencari kebenaran belaka, juga bukan metafisika karena tidak pernah memikirkan hakekat dibalik realitas, tetapi konsep pragmatisme lebih cenderung pada tataran ilmu praktis untuk membantu menyelesaikan persoalan yang dihadapi manusia.
            Jika ditelusuri secara mendalam, dunia pendidikan di Indonesia masih terbilang kurang dalam hal melatih kemandirian peserta didik. Pada kehidupan nyata, peserta didik yang telah lulus dari lembaga sekolah mengalami kesulitan dalam beradaptasi dengan lingkungan sosialnya. Sehingga, membuat mereka cenderung mengasingkan diri dan tidak ikut serta dalam kegiatan masyarakat. Bahkan diantara mereka, masih mengalami kesulitan dalam memecahkan persolan hidup.
            Seiring dengan perkembangan zaman yang semakin menggila, membuat orang-orang harus pintar dalam menghadapi kesulitan untuk meraih kesuksesannya. Jika salah mengambil sebuah keputusan, maka akibatnya akan sangat berdampak pada masa depannya. Untuk itu, dibutuhkan pemikiran yang kritis dan logis, serta tindakan yang tepat dalam kegiatan tersebut.
Dengan bertolak pada pengalaman hidup yang dimiliki oleh peserta didik sejak kecil, membuat mereka akan belajar untuk berhati-hati dalam bertindak. Hal itu sesuai dengan pandangan Dewey, yaitu pemikiran seseorang pada dasarnya berpangkal pada pengalaman-pengalaman dan bergerak kembali menuju ke pengalaman-pengalaman. Manusia akan selalu bergerak dalam kesungguhan yang selalu berubah. Jika ia mengalami kesulitan maka ia akan segera menghadapi kesulitan tersebut dan mencari solusinya. Untuk itu dibutuhkan kegiatan berpikir yang akan mengubah keadaan sebelumnya menuju keadaan selanjutnya.
Pendidikan di Indonesia perlu menerapkan suatu sistem yang berangkat dari suatu konsep, yang dapat membantu peserta didik agar dapat berkembang di lingkungan sosialnya. Dewey memandang bahwa tipe dari pragmatismenya dapat diasumsikan sebagai suatu yang mempunyai jangkauan aplikasi dalam masyarakat. Pendidikan dapat dipandang sebagai wahana yang strategis dan sentral dalam upaya kelangsungan hidup di masa depan. Jika melihat pendidikan di luar negeri khususnya pendidikan di Amerika, hanya mengajarkan sesuatu yang sudah lama dan mengulang-ulangnya kembali. Sehingga membuat muatan-muatan pelajaran tersebut tidak layak untuk diajarkan kepada peserta didik, karena hanya akan mengekang pemikiran anak. Peserta didik akan berpikir terbatas dan sulit melihat kehidupan yang sebenarnya luas.
Dewey menawarkan suatu konsep pendidikan yang dapat membuat peserta didik siap menghadapi masa depan mereka. Menurut Dewey, lingkungan sekolah harus mampu mencerminkan pola lingkungan masyarakat atau sosialnya, sehingga ketika anak lulus dari sekolah, mereka dapat menyesuaikan diri dengan masyarakat (Ali, 2011: 196). Dapat dipahami dari konsep tersebut, bahwa pendidikan harus mampu membekali peserta didik sesuai dengan kebutuhan yang ada pada lingkungan sosialnya. Sehingga kelak mereka dapat cepat beradaptasi dengan lingkungan sosial dan berperan serta dalam bersosialisasi dengan masyarakat.
Untuk merealisasikan konsep tersebut pada pendidikan di Indonesia, dapat ditawarkan beberapa metode dalam pengajaran di sekolah. Metode pertama yaitu berupa metode pemecahan masalah. Dengan menggunakan metode ini, peserta didik akan dihadapkan pada berbagai situasi dan masalah-masalah yang menantang, sesuai dengan kehidupan nyata di lingkungan sekitar. Peserta didik akan diasah kemampuan berpikirnya dan diberi kebebasan sepenuhnya untuk memecahkan masalah-masalah sesuai dengan kemampuan yang dimiliki. Pendidik atau guru hanya membantu peserta didik untuk mengasah kemampuan mereka dalam mencari solusi terhadap situasi tersebut.
Metode yang kedua adalah belajar sambil bekerja, artinya peserta didik akan dibekali keterampilan-keterampilan yang dibutuhkan oleh masyarakat, sehingga mereka akan eksis dan berguna untuk lingkungan sosialnya. Ketika mereka selesai dari pendidikan yang telah ditempuhnya, mereka mampu untuk bekerja dengan mengembangkan keterampilan tersebut atau mencoba membuka peluang usaha untuk masyarakat, sehingga dapat mengatasi pengangguran yang semakin membeludak di Indoensia.
Metode yang ketiga yaitu, metode penyelidikan dan penemuan. Artinya peserta didik dituntun untuk melakukan sebuah pencarian dan penemuan hal-hal baru dalam hidup sosial dan pribadi sesuai dengan kemampuan yang dimilikinya. Setelah itu, peserta didik dibimbing untuk membuat penilaian yang sesuai dengan nilai-nilai di masyarakat dan dapat mengaplikasikannya ke kehidupan sehari-hari.
Pendidik dapat menerapkan model pembelajaran berkelompok untuk peserta didik di dalam proses kegiatan belajar-mengajar (KBM). Dengan metode tersebut, peserta didik akan merasa bersama-sama terlibat dalam masalah dan pemecahannya. Peserta didik dilatih untuk bekerja sama satu sama lain, sesuai dengan prinsip kehidupan untuk bertoleransi. Selain itu, mereka akan dilatih untuk bertanggung jawab terhadap beban dan kewajiban yang diberikan kepadanya. Sehingga mereka akan menyelesaikan tugas yang telah diberikan hingga mendapatkan hasil yang diinginkan.
Peran pendidik dalam pendidikan yaitu untuk tidak membatasi minat dan kreatifitas peserta didik dalam belajar serta membimbing dan mengawasi pengalaman belajar mereka. Karena itu, pendidikan haruslah didesain secara fleksibel dan terbuka. Maksudnya, suatu pendidikan tidak boleh mengurung kebebasan berkreasi anak, terlebih membunuh kreatifitas anak. Pola pragmatisme selalu memandang anak sebagai pribadi yang berpikiran aktif dan kreatif. Seorang guru yang memiliki pandangan pragmatis akan selalu memerhatikan situasi lingkungan masyarakat anak, serta mendorong agar anak turut memecahkan persoalan yang ada disekitar tinggal mereka.
Dapat disadari bahwa pendidikan merupakan proses atau pengalaman hidup peserta didik, sehingga diharapkan sekolah tidak hanya menjadi tempat pembekalan untuk masa depan, tetapi sebagai suatu proses kehidupan yang harus dijalani. Pembelajaran di sekolah diharapkan pula dapat membantu peserta didik untuk bisa mengasah kemampuan dan pikiran yang dimiliki mereka dalam menghadapi masalah-masalah di kehidupannya. Dengan begitu, peserta didik akan mampu menjalani kehidupan meraka dengan baik dan mampu beradaptasi dengan perkembangan dunia yang selalu berubah-ubah.

Sumber Referensi:
Maksum, Ali. 2011. Pengantar Filsafat: Dari Masa Klasik hingga Postmodernisme.
Jogjakarta: Ar-Ruzz Media.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar