PGSD/IIIA/03
Tan Malaka dan Islam
Sosok Tan Malaka memang pantang surut. Kendati sudah
lama mati berkalang tanah, tetapi pikirannya masih sangat ‘diwaspadai’. Seperti
katanya sendiri: “Dari dalam kubur suaraku akan jauh lebih keras daripada
diatas bumi.”
Tan Malaka lahir dari keluarga pemeluk Islam di Sumatera
Barat. “saya lahir dalam keluarga Islam yang taat,” katanya di dalam risalah
berjudul Islam Dalam Tinjauan Madilog
(1948). Bahkan, melebihi orang-orang yang sering mengkafirkannya, Tan Malaka
kecil sudah bisa menafsirkan Al-Qur’an dan menjadi guru muda. Tan Malaka sangat
mengagumi Nabi Muhammad SAW. Semasa masih kecil, ketika Ibunya menceritakan
kisah Nabi Muhammad SAW yang yatim-piatu, air mata Tan Malaka mengucur. Bahkan,
seperti dituturkan keponakan Tan, Zulfikar, “Tan Malaka kecil–sering dipanggil Ibra–tidak pernah meninggalkan
sembahyang dan hafal Al-quran.”
Ketika belajar di Haarlem, negeri Belanda, Tan Malaka tidak
putus dengan ajaran Islam. Terjemahan Al-Qur’an dalam bahasa Belanda beberapa
kali ditamatkannya. Buku-buku tentang Islam, termasuk karya Snouck
Hurgronje, terus dibacanya. Kendati demikian, Tan Mengakui bahwa pengaruh
bacaan baru dan situasi dunia kala itu, terutama Revolusi Rusia 1917, banyak
mempengaruhi pandangan hidupnya. Pada bulan November 1922, di hadapan
perwakilan partai komunis dari berbagai belahan dunia, Tan Malaka menegaskan, “ketika saya berdiri di depan Tuhan saya
adalah seorang Muslim, tapi ketika saya berdiri di depan banyak orang saya
bukan seorang Muslim, karena Tuhan mengatakan bahwa banyak iblis di antara
banyak manusia!”
Sekarang kita tengok pandangan Malaka sebagai marxis
terhadap Islam. Ketika berbicara soal konsep Tauhid dalam Islam, yakni
pengakuan terhadap ke-Esaan Allah SWT, Tan menghubungkannya dengan sejarah
ekonomi dan politik masyarakat Arab. Menurut Tan, masyarakat Arab pra-Muhammad
SAW adalah masyarakat yang terbelah dalam banyak suku dan masing-masing
menyembah bermacam-macam berhala. Situasi itu membawa bangsa-bangsa Arab dalam
peperangan saudara yang panjang dan sangat keji. Karena itu, bagi Tan,
masyarakat Arab butuh pemimpin yang bisa menyatukannya.
Tan mengatakan, “persatuan
itu tidak terdapat pada satu maha-patung, di antara beberapa patung yang ada di
Arabia dan berpusat di Mekkah di masa itu, melainkan pada ke-Esaan Tuhan dan
Kemahakuasaan-Nya, yang tiada lagi takluk kepada tempat dan tempo, seperti
patung dimanapun juga, yang dibikin oleh tangan manusia dari benda apapun juga
di dunia ini.”
Pada saat itu muncullah Nabi Muhammad SAW. Yang menarik, Tan
melihat kemunculan Nabi Muhamad SAW sebagai pemimpin bukan karena faktor inmaterial, melainkan dari faktor material. Pertama, Muhammad, yang masih muda tetapi haus pengetahuan, suka
menyendiri dan merenung di pegunungan luar kota Mekah. Di sana ia mengamati
berbagai fenomena alam, seperti bulan, peredaran bintang, dan jatuhnya hujan,
sembari mengajukan pertanyaan-pertanyaan.
“Tak heran kalau
pemuda Muhammad didesak oleh persoalan sebagai siapakah yang mengemudikan
jalannya bulan dan jutaan bintang ini, yang tetap teratur ini. Siapakah yang
menjatuhkan hujan yang memberi hidupnya tumbuh-tumbuhan, benda-benda di alam
raya ini untuk bergerak berpadu, berpisah, saling tolak, saling tarik, dan
sebagainya. Sementara “Yang
Maha Kuasa”, juga Surga dan Neraka, jelas berada di luar “Ilmu Bukti”.
Dan berarti diluar jangkauan Madilog. Bagi Tan Malaka, percaya dan tidaknya
akan “Yang Maha Kuasa” itu tergantung dari masing-masing orang. “Tiap-tiap
manusia itu adalah merdeka menentukannya dalam kalbu sanubarinya sendiri. Dalam
hal ini saya mengetahui kebebasan pikiran orang lain sebagai pengesahan
kebebasan yang saya tuntut buat diri saya sendiri buat menentukan paham yang
saya junjung,” kata Tan Malaka.
Kemudian, kita akan membahas
dukungan penuh Tan Malaka terhadap aliansi strategis antara Islam dan Komunis. Di
tahun 1921, Tan Malaka menghadiri kongres Sarekat Islam (SI). Di sana ia
bertemu tokoh-tokoh SI, seperti HOS Tjokroaminoto dan Semaun. Tetapi ia lebih
terpikat pada Semaun. Semaun, yang saat itu menjabat Ketua PKI, mengajak Tan ke
Semarang. Di sana Semaun meminta Tan membantunya mendirikan sekolah-sekolah yang
disponsori oleh SI-Semarang. Namanya SI school atau Sekolahan SI Semarang. Tan
Malaka menjadi pengajar utama di sekolah tersebut.
Tak lama kemudian, karena
kepiawaian organisatoris dan pengetahuan teoritiknya, Tan ditunjuk sebagai
Ketua PKI pada Desember 1921. Yang menarik, seperti dicatat oleh Harry A Poeze,
peneliti sekaligus penulis buku berjudul Tan Malaka: Gerakan Kiri dan Revolusi
Indonesia, ketika menjabat sebagai Ketua PKI dari 1921-1922, Tan Malaka teguh
mendukung proyek aliansi Islam-Komunis. Sejak tahun 1916, pasca kegagalan
kerjasama dengan Insulinde, kaum sosialis (ISDV) mulai menjajaki kerjasama
dengan Sarekat Islam. Sejak itu, titik temu antara sosialisme dan islam banyak
dibicarakan. Apalagi, keduanya sama-sama menentang kolonialisme dan imperialisme.
Tetapi berbagai masalah pribadi
muncul mengusik kerjasama itu. Pertama, pada tahun 1920, posisi Tjokroaminoto
sebagai ketua SI mulai merosot. Terutama karena kasus ‘Seksi B’, yaitu
pemberontakan rakyat Garut, Jawa Barat, yang dipimpin oleh SI, yang membuat
Tjokroaminoto terancam ditangkap. Karena itu, Tjokro meminta agar SI
mengendurkan serangan dan menghindari kontroversi yang mengganggung penguasa.
SI cabang Semarang, yang dikuasai kaum merah, mengecam sikap mengendur Tjokro
tersebut. Kedua, serangan Darsono, seorang tokoh ISDV, yang membongkar kasus
korupsi di tubuh pimpinan SI, Tjokroaminoto dan Brotosoehardjo. Tuduhan Darsono
itu benar-benar menampar tokoh-tokoh SI, terutama para loyalis Tjokro.
Beruntung, pada kongres SI di
bulan Maret 1921, berbagai masalah itu berhasil diredam sementara. Semaun dan
Haji Agus Salim sepakat menyusun program bersama berdasarkan prinsip Islam dan
komunis. Salah satu poin kesepakatan itu adalah: Sarekat Islam sepakat bahwa
kejahatan penindasan secara nasional dan ekonomi merupakan produk kapitalisme,
karenanya rakyat koloni harus bebas dari kejahatan tersebut, berjuang melawan
kapitalisme dengan sekuat tenaga dengan kekuatan dan kemampuan, terutama
melalui serikat buruh dan tani.
Namun, kerjasama ini hanya sementara.
Rupanya, sentimen anti-komunis makin merasuki segelintir pimpinan SI, terutama
Tjokroaminoto dan Haji Agus Salim. Keduanya mulai berpikir untuk menendang kaum
komunis dari SI. Pada kenyataannya, sentimen anti-komunis dari tokoh SI ini
tidaklah ideologis maupun politis, melainkan didorong oleh persaingan politik. Propaganda
anti-komunis pun dilancarkan. Tjokro, misalnya, berkampanye bahwa SI
berdasarkan agama islam, sedangkan komunis tidak percaya Tuhan dan tidak
mengakui agama Islam. Agus Salim, yang berada dibalik proposal Disiplin Partai,
menyatakan bahwa SI mendasarkan perjuangannya pada semua klas, sementara
komunis hanya pada satu klas: proletar. (Lihat, Takashi Shiraishi, Zaman
Bergerak, hal 326).
Tak hanya itu, Tjokro dan Agus
Salim menuding kaum komunis sebagai ‘tukang pecah-belah’. Tak hanya itu, dengan
meminjam tesis Kobih-lebihkan, kita memberikan kesempatan kepada musuh yang
terus mengintai untuk melumpuhkan gerakan rakyat Indonesia.” Pasca kongres,
berkat pengaruh Tan Malaka, PKI banyak menarik kesesuaian antara komunisme dan
islamisme. Misalnya, dalam aspek propaganda, mereka merujuk ke ayat Al-quran
untuk untuk menunjukkan simpati kepada rakyat dengan mengecam penindasan dan
keserakahan. Tak hanya itu, PKI Semarang membentuk Komite Haji untuk mengubah
peraturan Haji pemerintah yang memberatkan ataupun bertentangan dengan hukum
Islam.
Tak hanya di partainya, dukungan
Tan Malaka terhadap aliansi Islam-Komunis juga ditunjukkan di forum komunis
Internasional. Pada Kongres Komunis Internasional ke-empat, 12 November 1922,
Tan Malaka menyatakan perlunya dukungan terhadap Pan-Islamisme dalam kerangka
melawan imperialisme. Di kongres itu Tan Malaka berseru, “Saat ini,
Pan-Islamisme berarti perjuangan untuk pembebasan nasional, karena bagi kaum
Muslim Islam adalah segalanya: tidak hanya agama, tetapi juga Negara, ekonomi,
makanan, dan segalanya. Dengan demikian Pan-Islamisme saat ini berarti
persaudaraan antar sesama Muslim, dan perjuangan kemerdakaan bukan hanya untuk
Arab tetapi juga India, Jawa dan semua Muslim yang tertindas. Persaudaraan ini
berarti perjuangan kemerdekaan praktis bukan hanya melawan kapitalisme Belanda,
tapi juga kapitalisme Inggris, Perancis dan Itali, oleh karena itu melawan
kapitalisme secara keseluruhan. Itulah arti Pan-Islamisme saat ini di Indonesia
di antara rakyat kolonial yang tertindas, menurut propaganda rahasia mereka –
perjuangan melawan semua kekuasaan imperialis di dunia.”
Seruan Tan Malaka didukung oleh
seorang perwakilan dari Tunisia dan seorang delegasi Belanda. “Saya tidak
mendapat jawaban apapun, kendati pidato saya mendapat sambutan hangat dari
Kongres,” kata Tan Malaka. Kendati tidak menyalahkan taktik PKI yang beraliansi
dengan Sarekat Islam, tetapi Komintern tetap mengutuk Pan-Islamisme.
Sumber Referensi: http://www.berdikarionline.com/gotong-royong/20140220/tan-malaka-dan-islam.html#ixzz3M5FHcBaA
Tidak ada komentar:
Posting Komentar