PGSD/IIIA/03
Ziarah ke Makam Keramat di Kabupaten
Pandeglang Banten
Ziarah makam tergolong tradisi yang
sangat tua, barangkali setua kebudayaan manusia itu sendiri. Tradisi ini
umumnya berhubungan erat dengan unsur kepercayaan atau keagamaan. Tradisi,
menurut Parsudi Suparlan, sebagaimana dikutip oleh Jalaluddin (Jalaluddin,
1996: 180), merupakan unsur sosial budaya yang telah mengakar dalam kehidupan
masyarakat dan sulit berubah. Meredith McGuire (dalam Jalaluddin, 1996: 180),
melihat bahwa dalam masyarakat pedesaan umumnya tradisi erat kaitannya dengan
mitos dan agama.
Kabupaten Pandeglang, terletak di
wilayah provinsi Banten, merupakan kawasan yang sebagian besar masih merupakan
pedesaan. Dalam satu tulisannya, Azyumardi Azra menyebutkan, orang-orang Muslim
di Banten percaya bahwa Tuhan sangat baik dan tidak akan mengabaikan mereka;
tetapi pada saat yang sama, kekuatan-kekuatan jahat dan setan terus
mendatangkan bencana, sehingga mereka terpaksa mengarahkan aktivitas ritual
kepada kekuatan-kekuatan jahat tersebut. Dalam kaitan ini pula terjadi pemujaan
terhadap orang-orang yang telah mati, yang dipandang potensial untuk membantu
mereka dalam menghadapi berbagai kekuatan jahat (Azra, 1999: 66).
Ungkapan yang digunakan Azra dalam
kalimat “pemujaan terhadap orang-orang yang mati” mungkin terlalu berlebihan
untuk menggambarkan keyakinan masyarakat Banten. Pada kenyataannya, orang-orang
Banten akan menolak kalau dikatakan mereka memuja orang-orang yang telah mati.
Lebih tepat kalau dikatakan, mereka menggunakan arwah orang-orang yang telah
mati itu sebagai perantara (wasilah) untuk menyampaikan doa atau
keinginan mereka kepada Tuhan. Arwah itu pun bukan sembarang arwah, melainkan
arwah dari orang-orang yang semasa hidupnya dianggap sebagai tokoh, misalnya
kiyai, syekh, jawara (orang sakti), atau sultan. Orang-orang Banten
percaya bahwa tokoh-tokoh itu mempunyai karomah atau keistimewaan
spiritual tertentu. Ketika sudah meninggal, karomah itu dipercaya masih
ada dan bisa diperoleh dari makam mereka. Oleh karena itulah, aktivitas ziarah
ke makam keramat sering disebut ngalap barokah, yaitu mencari berkah dari
keramat yang terdapat pada makam sang tokoh.
Pemujaan terhadap orang-orang yang
telah meninggal dahulu memang ada ketika agama Islam belum dianut masyarakat
Banten. Kepercayaan semacam itu, yang disebut animisme, secara
berangsur-angsur telah terkikis dengan datangnya Islam. Diperlukan penelitian
tersendiri apakah tradisi ziarah ke makam keramat, yang menunjukkan adanya
keyakinan mengenai keistimewaan roh-roh dari tokoh tertentu, itu merupakan
kompromi antara kepercayaan lama dengan ajaran Islam atau bukan. Sebab Islam
yang datang ke Banten, dan ke Nusantara secara umum, adalah Islam dengan nuansa
sufisme sangat kental. Telah banyak dikemukakan oleh para ahli sejarah, bahwa
para penyebar Islam di Jawa hampir seluruhnya adalah pemimpin-pemimpin tarekat
(Dhofier, 1982: 144). Di Banten sendiri, pernah dan masih berkembang
aliran-aliran tarekat antara lain tarekat Syatariyah, Qadiriyah, Naqsabandiyah,
dan Syadziliyah. Dalam sufisme, ada ajaran tentang tawassul dengan para guru
dan syekh terdahulu, dan ziarah merupakan kegiatan yang dilakukan dalam rangka
tawassul. Jadi, tidak bisa dengan serta merta dikatakan bahwa ziarah ke makam
keramat merupakan warisan tradisi pra-Islam.
Di kalangan Islam sendiri, sebetulnya
aktivitas ziarah ke makam keramat dan doktrin tawassul masih menimbulkan
pertentangan teologis yang belum terselesaikan, antara pihak yang membolehkan
(bahkan menyunahkan) dan pihak yang membid’ahkan (bahkan mengharamkan). Pihak
yang membolehkan ziarah ke makam keramat umumnya berasal dari kalangan Islam
tradisional, sedangkan pihak yang melarang berasal dari kalangan Islam
modernis. Tapi terlepas dari pertentangan teologis tersebut, ziarah ke makam
keramat merupakan sebuah fakta sosial yang tidak bisa diabaikan, bahkan
merupakan suatu tradisi atau bentuk kebudayaan yang menarik untuk diteliti.
Menilik tempatnya, makam yang menjadi
tujuan ziarah dapat dibedakan menjadi dua, yaitu makam keluarga dan makam
keramat. Pada makam keluarga, misalnya makam orang tua, orang yang berziarah
umumnya bertujuan untuk mendoakan arwah yang dikubur agar mendapat keselamatan
atau tempat yang baik di sisi Tuhan. Jadi, manfaatnya bukan ditujukan untuk
kepentingan orang yang berziarah, melainkan untuk kebaikan roh orang yang
diziarahi.
Ziarah ke makam keluarga memiliki makna
kultural yang hampir sama dengan halal bihalal, di mana dalam periode tertentu,
misalnya setahun sekali, orang merasa perlu menyempatkan diri pulang ke kampung
halamannya untuk mengunjungi saudara-saudara dan tetangganya. Jika halal
bihalal adalah silaturahmi kepada orang-orang yang masih hidup, ziarah kubur
adalah silaturahmi kepada orang-orang yang sudah mati. Orang yang sewaktu
lebaran tidak pulang kampung untuk berhalal bihalal, ia bisa dianggap lupa asal
usul. Demikian pula, orang yang dalam periode tertentu tidak melakukan ziarah,
khususnya jika ia memiliki orang tua yang sudah meninggal, akan dianggap anak
yang tidak berbakti.
Sedangkan pada makam keramat, aktivitas
berziarah ke sana tampaknya memiliki tujuan atau motivasi yang beragam. Hal ini
mengingat bahwa orang-orang yang berziarah ke makam keramat berasal dari
berbagai daerah dan kalangan serta status sosial yang bermacam-macam. Bahkan
untuk makam keramat yang besar, penziarah bisa berasal dari daerah yang sangat
jauh, luar pulau, sampai luar negara.
Ziarah ke makam, baik yang keramat
maupun tidak, berkaitan erat dengan unsur keagamaan. Makam, dalam banyak
kebudayaan dan kepercayaan di seluruh dunia, menempati ruang spiritual yang
istimewa, bahkan menjadi pusat kehidupan keagamaan di samping kuil-kuil
pemujaan. Sebagai tempat dikuburkannya jasad orang yang sudah meninggal, makam
dipercaya sebagai tempat bersemayamnya roh-roh orang yang meninggal itu.
Berziarah ke makam merupakan cara untuk berhubungan kembali secara spiritual
dengan roh-roh tersebut.
Ziarah ke makam juga berkaitan dengan
kehidupan sosial. Orang yang ingin melakukan sesuatu atau kebutuhan tertentu,
seperti membuka lahan pertanian, melangsungkan perkawinan, sampai berperang,
merasa belum sah kalau belum meminta restu pada roh-roh nenek moyang. Roh-roh
itu dipercaya dapat melindungi mereka, mengabulkan permohonan mereka, bahkan
dapat pula menghukum kalau mereka melakukan pelanggaran.
Penghormatan kepada orang-orang yang
telah meninggal diwujudkan dalam berbagai cara, misalnya mengadakan upacara
kematian dengan ritual dan peralatan yang rumit, pembangunan kuburan secara
mewah, di beberapa tempat disertai makanan dan harta untuk bekal perjalanan
sang arwah, sampai pendirian kuil-kuil pemujaan.
Praktik pemujaan terhadap arwah para
leluhur, yang di antaranya dilakukan dengan persembahan korban atau pemberian
sesajen, memang tidak selalu dilakukan di makam. Dalam kebudayaan tertentu,
arwah leluhur itu dipercaya bisa ada di mana-mana, di hutan-hutan, kampung,
sawah, pohon, sampai di rumah (Daradjat dkk, 1996: 42), dan praktik pemujaannya
pun bisa dilakukan di tempat-tempat tersebut. Meskipun demikian, kedudukan makam
tetaplah menempati posisi yang paling penting.
Dalam Islam, aktivitas ziarah ke makam
keramat berkaitan erat dengan konsep kewalian atau kesucian. Para nabi, wali,
dan orang-orang suci atau orang-orang yang dikenal memiliki ketakwaan tinggi
dipercaya memiliki tempat mulia di sisi Allah. Hal ini sebagaimana ditegaskan
oleh Allah di dalam Alquran surat al-Hujurât [49] ayat 13, yang artinya: “Sesungguhnya
orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling
bertakwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.”
Menurut Muhaimin AG (dalam Supriatno, 2007: xv), Ketakwaan seorang nabi atau
wali adalah model tentang orang yang telah menempuh hidup mulia sekaligus model
untuk diteladani dan dijadikan panutan bagi orang yang ingin menempuh hidup
mulia. Sebagai model, mereka layak dihormati. Penghormatan itu bisa mengambil
berbagai bentuk, salah satunya dengan mengunjungi kuburannya tempat sang
teladan diperistirahatkan untuk terakhir kalinya. Di sana, orang berdoa dan
mendoakannya. Apabila doa mereka dikabulkan oleh Allah, maka tambahan pahala
dan kemuliaan (karamah) dari doa itu akan mengalir kepada yang didoakan, dan
menambah tumpukan pahala dan kemuliaan yang ada padanya yang sesungguhnya sudah
penuh karena ketakwaan dirinya. Seakan tidak tertampung, akumulasi kemuliaan
itu lalu meluber kepada penziarah yang sekaligus berdoa tadi. Luberan kemuliaan
itulah yang disebut orang sebagai “barakah”. Barakah itu, bagi yang
merasakannya, menggejala dalam berbagai bentuk seperti kemudahan usaha,
perolehan keuntungan, terbebas dari derita, sembuh dari penyakit, hilangnya
stres, ketenangan hidup, dan bentuk-bentuk lain.
Kabupaten Pandeglang terletak di
provinsi Banten. Luas wilayahnya adalah 2.193,58 Km2. Wilayah kabupaten
Pandeglang berbatasan dengan kabupaten Lebak di sebelah Timur, kabupaten Serang
di sebelah Utara, Selat Sunda di sebelah Barat, dan Samudera Indonesia di
sebelah selatan. Pada tahun 2000, jumlah penduduknya mencapai 2.933.900 jiwa.
Mayoritas penduduk Pandeglang menganut
agama Islam, dan coraknya dapat digolongkan ke dalam Islam tradisional. Di
sini, penghormatan terhadap ulama atau kiyai menempati posisi yang tinggi,
termasuk ketika ulama tersebut sudah meninggal dunia. Makamnya akan banyak
diziarahi oleh murid-muridnya, masyarakat sekitarnya, bahkan masyarakat dari
luar daerah, bergantung pada “kaliber” atau lingkup ketokohan ulama tersebut.
Tradisi keagamaan masyarakat Pandeglang
tidak berbeda dengan tradisi keagamaan di provinsi Banten pada umumnya,
termasuk dalam hal ziarah ke makam keramat. Di antara makam keramat di daerah
Pandeglang yang banyak diziarahi oleh masyarakat, termasuk masyarakat dari luar
daerah, antara lain:
1. Makam Syekh Mansur di Cikadueun
2. Makam Syekh
Abdul Jabbar di Karangtanjung
3. Makam Syekh Asnawi di Caringin
4. Makam Syekh Daud di Labuan
5. Makam Syekh
Rako di Gunung Karang
6. Makam Syekh Royani di Kadupinang
7. Makam Syekh Armin di Cibuntu
8. Makam Abuya Dimyati di Cidahu
9. Makam Ki Bustomi di Cisantri
10. Makam Nyimas Gandasari di Panimbang.
Aktivitas ziarah ke makam-makam keramat tersebut biasanya
meningkat tajam pada bulan Mulud (Rabiul Awal, bulan lahirnya Nabi Muhammad
Saw.), menjelang bulan Ramadan, sehabis Lebaran, pada malam Jumat, dan pada
hari-hari libur. Tetapi pada hari-hari biasa pun selalu ada saja orang yang
berziarah.
Pustaka:
Azra, Azyumardi, 1999, Renaisans Islam Asia Tenggara
Sejarah Wacana dan Kekuasaan, Bandung: Rosda
Daradjat, Zakiah, dkk., 1996, Perbandingan Agama,
Jakarta: Bumi Aksara
Dhofier, Zamakhsyari, 1982, Tradisi Pesantren Studi
tentang Pandangan Hidup Kyai, cet. ke-6, Jakarta: LP3ES
Jalaluddin,
1996, Psikologi Agama, cet. ke-6, Jakarta: Rajawali Pers
Tim Penyusun,
1990, Kamus Besar Bahasa Indonesia, cet. ke-3, Jakarta: Balai Pustaka
Supriatno,
2007, Ziarah Makam Sunan Gunung Jati di Mata Orang Kristen, Cirebon:
Fahmina Institute
Tidak ada komentar:
Posting Komentar